4 Jenis Gibah yang Diperbolehkan

Ilustrasi seorang tutup mulut/suara linggau
Ilustrasi seorang tutup mulut/suara linggau

Harmantajang.com – Dalam Al-quran, Allah Subhanahu wa taala berfirman:

وَلاَ يَغْتِبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ

“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih”. (QS. Al-Hujurat :12).

Walaupun demikian, ada ghibah yang dibolehkan dalam kondisi dan keadaan tertentu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi:

1. Orang Yang Terang-Terangan Melakukan Dosa dan Maksiat

Misalnya, ada orang yang terang-terangan menampakkan dosa dan maksiat, beda dengan orang yang terjatuh dalam maksiat kemudian dia bertaubat maka kita harus menutup aibnya.

Tetapi, jika dia terang-terangan dan dikhawatirkan perbuatannya akan ditiru oleh orang lain maka yang seperti ini tidak mengapa dighibahi untuk memberitahukan kepada orang tentang bahaya dari perbuatan yang ia lakukan.

2. Orang yang didzalimi

Ketika ada orang yang didzalimi kemudian dia datang kepada seorang hakim atau kepada orang yang lebih dituakan dan dia menceritakan misalnya ada yang merasa terdzalimi.

Kemudian ia datang kepada orang yang ia takuti atau kepada pemerintah kemudian mengatakan:

”Saya di dzalimi oleh si fulan dengan melakukan perbuatan ini kepadaku”, maka hal ini dibolehkan agar ia dinasehati oleh pemerintah.

3. Ketika kita diminta pandangan

Ketika ada orang yang dimintai pandangan harus jujur dalam kondisi tertentu dan ini pernah terjadi dizaman Nabi.

Misalnya, jika ada ikhwah yang hendak melamar kepada seorang wanita kemudian ia bertanya kepada ustadz maka wajib ustadz tersebut menjelaskan wanita yang dimaksud lelaki tersebut dan setelah itu jangan menyebarkan aibnya wanita tersebut.

4. Ketika Hendak Menasehati

Misalkan ada orang yang banyak melakukan maksiat kemudian kita datang kepada Imam Masjid atau yang dituakan kita sampaikan:

“Pak orang ini melakukan kerusakan atau dosa bisakah bapak menasehatinya”, maka ini juga boleh.

Begitupula mentahdzir seseorang dari kesesatan atau kekufuran maka itu boleh untuk memberikan peringatan kepada orang lain agar kemudian orang-orang berhati-hati terhadapnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here