Kesempurnaan tawakkal berlandaskan pada dua hal :
- Penyerahan hati sepenuhnya hanya pada Allah, dengan meyakini bahwa apapun yang telah atau sedang atau yang akan terjadi tidaklah keluar dari takdir dan ketentuan Allah, dan sikap seperti ini mewariskan ketenangan dalam jiwa, jika seseorang mendapatkan nikmat maka ia memuji Allah, dan jika ia mendapatkan keburukan ia yakin dengan hikmah dibalik itu seraya berusaha muhasabah, karena keburukan yang menimpa seorang muslim adalah penggugur dosa-dosa serta mengangkat derajat seorang hamba disisiNya, boleh jadi Allah telah menyiapkan tempat yang tinggi buat seorang hamba namun amalannya sederhana, sehingga ia diuji untuk sampai pada manzilah tersebut.
- Memaksimalkan usaha serta mengambil sebab yang dihalalkan. Ini tidak menafikan dan bertentangan dengan tawakkal, bahkan merupakan bukti kesempurnaan Tawakkal.
Ketika Allah dengan mukjizat dan kekuasaannya menakdirkan anak buat Maryam yaitu Nabi Isa alaihassalam, pada saat beliau hendak melahirkan Allah memerintahkan Maryam yang berada di bawah sebuah pohon kurma untuk menggoncangkan dahannya agar buah kurma berjatuhan dan bisa beliau makan, bisa saja Allah langsung menjatuhkan buah itu secara langsung dengan memerintahkan angin untuk mengguncangnya atau dengan cara lain, namun Allah ingin mengajarkan hambanya untuk mengambil sebab untuk sebuah hasil.
Begitu pula Nabi Ayyub alaihassalam ketika diperintahkan Alah untuk menghentakkan kakinya yang kemudian keluar air, beliau kemudian mandi dan minum dari air itu yang menjadi sebab kesembuhan beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyidul mutawakkilin, pemimpin orang-orang yang bertawakkal, namun Beliau mengambil sebab-sebab yang diperintahkan, beliau menggunakan baju perang ketika berperang, mengatur strategi, menggali khandaq atau parit bersama pra sahabat untuk melindungi kota Medinah dari serangan sekutu orang-orang kafir, beliau pernah menyimpan bahan pokok makanan buat keluarganya, dan beliau pula yang berkata : “Ikat untamu kemudian tawakkal!”
Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khattab memasuki negeri Syam bersama banyak sahabat, di perjalanan terdengar kabar bahwa sedang merebak wabah penyakit di negeri tersebut, beliau akhirnya tidak jadi masuk, salah seorang sahabat yang digelari Nabi kepercayaan ummat ini yang bernama Abu Ubaidah bin Jarrah sempat berkata : “Apakah anda lari dari takdir Allah?” Beliau menjawab : “Duhai, andai ucapan itu bukan engkau yang mengatakannya wahai Abu Ubaidah, kita berpindah dari satu takdir ke takdir yang lain”, Tidak lama kemudian datanglah Abdurrahman bin ‘auf menyampikan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : “Jika wabah tersebar disatu tempat maka janganlah engkau masuk ke dalamnya, dan jika engkau berada di dalamnya maka janganlah engkau keluar darinya”
Ketika seorang lelaki datang menghadap pada Imam Ahmad dan mengabarkan bahwa dia hendak menunaikan ibadah haji, Imam Ahmad berwasiat: “Berbekallah!” Orang itu menjawab: “Saya bertawakkal hanya pada Allah yaa Imam”. Imam Ahmad kemudian menjawab : “Jika demikian berangkatlah kau sendiri dan jangan bersama kafilah atau rombongan”. Dia menjawab: “Saya tidak bisa kalau sendiri yaa Imam” Imam Ahmad menjawab: “Jika demikian sebenarnya engkau ini bertawakkal pada perbekalan kafilah tersebut”.
Dan secara logis kenyataan juga membuktikan hal diatas, karena tidaklah ada yang menginginkan anak melainkan harus mengambil sebab yaitu menikah dan berhubungan, karena jika seseorang mengharapkan keturunan dan tidak menikah maka sama saja bohong, karena anak tidak bisa didownload.
Selamat beribadah dalam tawakkal dengan mengambil sebab-sebab syar’i. Jika semua usaha telah ditempuh maka serahkan semuanya pada Allah.
Akhukum
Harman Tajang
(Sekretaris Dewan Syari’ah Wahdah Islamiyah, Mahasiswa Pascasarjana Program S3 Universitas Qassim, Saudi Arabiah, Fakultas Syari’ah, Jurusan Perbandingan Madzhab)