Harmantajang.com – Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Nabi Muhammad) ?” (QS. Al-Insyirah: 01).
Ada yang menafsirkan kami telah membelah dadamu wahai Muhammad, peristiwa pembelahan dada Rasulullah terjadi 2 kali yaitu ketika beliau diasuh oleh seorang yang bernama Halimah As Sa’diyah.
Dada beliau dibelah kemudian datang Jibril dan Mikail membawa air zam-zam dikeluarkan hati Rasulullah lalu dibersihkan yang merupakan bagian dari syaithan begitupula ketika dalam perjalanan isra’ dan mi’raj dada beliau dibelah.
Baca Juga: Membaca Surah yang Sama dalam Salat, Apa Hukumnya?
Kemudian Allah Subhanhau wata’ala telah mengangkat nama Rasulullah:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَك
“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu“. (QS. Al-Insyirah: 04).
Tidaklah nama Allah disebut melainkan disebut nama Rasulullah, ketika seorang masuk islam maka membaca syahadat “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah, Waasyhaduanna Muhammadar Rasuulullah”.
Begitupula ketika azan, Allah menyampaikan hal itu kepada Nabinya bahwasanya akhirat bagimu lebih baik wahai Muhammad. Oleh karenanya ketika Rasulullah berkhutbah diakhir-akhir hidupnya dan menyampaikan bahwa:
“Ada seorang hamba yang Allah diberikan pilihan masih mau tinggal didunia atau kembali kepada Allah dan dia lebih memilih untuk kembali kepada Allah, Abu Bakar Ash Shiddiq kemudian menangis, orang-orang yang ada disekelilingnya heran dengan berkata:
”Mengapa Abu Bakar menangis, Nabi hanya menyampaikan bahwasanya ada seorang hamba diberikan pilihan untuk tetap lanjut hidup didunia atau kembali kepada tuhannya (ini kekhususan kepada Nabi dan Rasul berbeda dengan kita”.
Baca Juga: Maha Suci Allah, di dalam Perintah Berdzikir Terdapat ‘Kelezatan’
Adapun kita jika ajal telah tiba maka tidak ada yang mampu memajukannya dan mengundurkannya adapun para Nabi dan Rasul diberikan pilihan mau lanjut hidup didunia atau kembali kepada Allah dan semuanya memilih kembali kepada Allah”.
Abu Bakar tahu dan sadar bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah hamba tersebut adalah dirinya sendiri, sebentar lagi ia kembali kepada Allah dan ia rindu berjumpa dengan Allah.
Oleh karenanya diakhir hidup Nabi beliau mengatakan: ”Teman yang tertinggi, teman yang tertinggi, teman yang tertinggi”, kerinduannya berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala.